Google+

Facebook

pinterest

Twitter

Rss

Propinsi Pulau Sumbawa Adalah Keniscayaan Kesadaran Sejarah

Sistem pemerintahan di Pulau Sumbawa berakar jauh kedalam sejarah. Tiga kabupaten lama sebelum lahirnya Kabupaten sumbawa Barat berasal dari Daerah Kerajaan yang sudah berabad-abad telah mengenal sistem pemerintahan yang dijalankan secara mandiri, tertib dan demokratis. Sejarah asal dari masing-masing kerajaan tersebut tercatat dan tersimpan dalam catatan-catatan peninggalan sejarah. Dari berbagai buku, kita mengetahui bahwa nama-nama Sumbawa, Dompu dan Bima tercantum di dalam Negara Kertagama yang ditulis pada tahun 1365 M. Ini berarti bahwa pada tahun 1365 Masehi bahkan mungkin sebelum itu di Pulau Sumbawa sudah ada bentuk pemerintahan dan kegiatan interaksi antar pulau. Tidaklah mengherankan apabila dalam catatan perjalanan seorang portugis bernama Tome Fires di Tahun 1513 disebutkan Pelabuhan Sumbawa dan Bima sebagai pelabuhan persinggahan kapal-kapal yang berlayar ke Timur dan membeli hasil bumi; beras, tekstil dan lain-lain. Raja kerajaan Bima pada saat itu dibawah Raja Manggampo Donggo, Raja Bima ke-14 dan diperkirakan di Sumbawa adalah masa kerajaan Dewa Awan Kuning di Utan sedangkan di Dompu di bawah Raja yang punya kuda bernama “La Tonda Riru”. Akhir abad 16 disebut sebagai masa menjelang kedatangan Islam di Pulau Sumbawa. Islam masuk ke Pulau Sumbawa dari Makassar. Kerajaan Goa-Tallo di bawah pimpinan Raja Tu Ammenang-ri-gaukanna mengirim dua orang pendekar yang telah membawa islam di Makassar setelah dari Ternate (tahun 1600) yang bernama Datuk ri Banda dan Datuk ri Tiro; kedatangan kedua pendekar ini pada tahun 1018 H atau tahun Masehi 1609 dan tercatat didalam Bo Kerajaan Bima menjadi awal Kerajaan Bima menjadi kerajaan Islam (kesultanan) di bawah Pimpinan Sultan Abdul Kahir, Sultan Islam yang pertama yang memerintah tahun 1611-1640. sedangkan di Sumbawapun terjadi hal yang sama di masa pemerintahan Dewa Maja Paruma. Kedatangan VOC pertama kali di Timur Indonesia tahun 1667 menimbulkan perlawanan sengit dari rakyat Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin. Pertempuran yang akhirnya mengalahkan pihak Makassar ini mengakibatkan suatu perjanjian yang berakibat jauh bagi Kerajaan Makassar maupun Kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa dan terkenal dengan nama Perjanjian Bongaya. Antara Admiral Speelman dibuat perjanjian tersendiri dengan raja-raja di pulau Sumbawa. Inilah awal dari perjanjian-perjanjian yang kemudian disebut Kontrak Politik Panjang atau Lange Politiek Contract. Kontrak pertama ini ditandatangani oleh Raja Bima dan Dompu diwakili Jeneli-jeneli masing-masing memuat pasal-pasal di antaranya perdangangan kayu sapan dan saling tolong menolong di laut dan lain-lain, tetapi belum menyangkut soal pemerintahan. Kontrak-kontrak berikutnya dibuat tahun 1857 dengan Bima dan Tahun 1858 dengan Sumbawa dan seterusnya dengan Sultan-sultan berikutnya sampai menjelang Perang Dunia II pada tahun 1938 dibuat kontrak-kontrak Politik dengan 15 Daerah Swapraja diseluruh Indonesia yang berstatus Swapraja atau Zelf Bestuur, Kontrak dengan Bima dan Sumbawa dibuat pada tanggal 13 Desember 1938. Dari sejarah tersebut di atas dapat terlihat betapa kuatnya kedudukan pemerintahan di daerah pulau Sumbawa ditinjau dari segi struktur dan penyelenggaraannya termasuk dalam struktur politik pemerintah Belanda dan lain-lain, meskipun beberapa kewenangan tetap dipegang oleh Pemerintah Hindia Belanda, seperti hubungan diplomasi dengan Luar Negeri dan wewenang di laut, namun Pemerintah Swapraja tetap diberi kewenangan berpemerintahan sendiri atas dasar Hukum Adat sebagai mana dilakukan sejak berabad abad sebelumnya. Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda menetapkan 2 ( dua ) kategori daerah di Indonesia. 1. Daerah yang sebelum adanya Pemerintah Belanda di Indonesia sudah mempunyai susunan masyarakat yang berpemerintahan sendiri atas dasar Hukum Adat disebutInheernse Zelfregerende Gebiedsdelen atau Wilayah Pribumi yang berpemerintahan sendiri. 2. Daerah yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Daerah – daerah ini disebutGedecentraliseerde Zelfregerende Gebiendsdeien atau daerah desentralisasi yang berpemerintahan sendiri. Ketiga Swapraja (Kabupaten) di Pulau Sumbawa tergolong dalam kategori pertama dengan status sebagai Daerah yang tidak langsung diperintah oleh Belanda yang disebut dengan: Indirect Bestuursgebeid. Sedangkan tiga daerah di Pulau Lombok masuk dalam kategori kedua yang disebut Direct Bertuursgebied atau Daerah yang langsung diperintah oleh pemerintah Hindia-Belanda. Status Swapraja bertahan sampai dihapus oleh UU No. I Tahun 1957 sedangkan kerajaan-kerajaan kecil Tambora dan Papekat sudah tidak ada sejak meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1814, dan Kerajaan Bima pada tahun 1929 sebagai ganti Wilayah Manggarai di pulau Flores (yang asalnya adalah daerah taklukan oleh Kerajaan Bima ) yang digabung dengan daerah-daerah lain di pulau Flores. Masa pemerintahan sebelum tanggal 17 Desember 1958, merupakan masa pra-pertumbuhan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), dikatakan pra pertumbuhan, karena dalam masa tersebut timbul keinginan dari seluruh masyarakat di Nusa Tenggara Barat yang sebelumnya bernama Sunda Kecil / De Kleine Sunda Eilandenyang pada saat itu berpemerintahan otonom tingkat Provinsi Admisnistratif agar berpemerintahan otonom tingkat provinsi maupun tingkat Kabupaten. Keinginan rakyat di NTB pada waktu itu yang berbeda hanyalah mengenai luas wilayah yang diinginkan agar dibentuk menjadi daerah otonom tingkat provinsi. Ada keinginan supaya bekas wilayah provinsi Nusa Tenggara dahulu dibentuk menjadi dua, tiga atau enam Daerah Otonom tingkat Provinsi. Akan tetapi kesemuanya menginginkan berpemerintahan otonom yang demokratis. Provinsi Nusa Tenggara yang sebelum tahun 1951 bernama Sunda Kecil, termasuk dalam bekas wilayah Negara yang tersebut terakhir. Menurut Undang-undang pembentukannya yaitu Lembaran Negara Hindia Belanda ( Stb. 143 Tahun 1946), Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Sumba, Flores dan Timor dan kepulauannya masing-masing dibentuk menjadi ”Daerah” yang sebelum berlakunya Undang-undang NIT No. 44 Tahun 1950 memperoleh penyerahan kekuasaan/urusan-urusan dari swapraja-swapraja yang diliputi oleh daerah yang bersangkutan, pemerintahannya terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Raja-raja. Perjanjian penyerahan kekuasaan/urusan-urusan dari swapraja-swapraja kepada daerah yang ditandatangani oleh Dewan Raja-raja tersebut yang kemudian lebih dikenal dengan nama Daerah Statuta, merupakan dasar hukum dari pada otonomi Daerah yang kemudian dicantumkan dalam Undang-undang Pembentukan Daerah. Berturut-turut Daerah Statuta dengan sebutan namanya yang berbeda-beda adalah sebagai berikut: 1. Undang-undang Pembentukan Gabungan Kerajaan-kerajaan Bali yang ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Bali pada tanggal 17 februari 1947 dan diumumkan tanggal 15 Agustus 1947. 2. Undang-undang pembentukan Daerah Flores, ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Flores pada tanggal 27 Februari 1947 dan diumumkan tanggal 1 April 1947 3. Undang-undang Federasi Pulau Sumbawa ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Sumbawa pada tanggal 23 Agustus 1948 4. Peraturan Dasar Federasi Sumbawa, ditetapkan oleh Dewan Raja-raja Sumba pada tanggal 6 September 1949 5. Peraturan Daerah Timor dan Kepulauannya pada tanggal 29 April 1949 6. Peraturan pembentukan daerah Lombok, Keputusan Presiden Indonesia Timur tanggal 9 Mei 1949 No. 5/Prv/49. ( Lombok tidak terdiri dari Swapraja-swapraja, tetapi merupakan suatu daerah langsung diperintah oleh Hindia Belanda dan pada Tahun 1946 (Stb. 1946) dibentuk menjadi Neo Swapraja atau daerah yang menyelenggarakan urusan-urusan otonomi berdasarkan Zelf Bestuurs Regelen (ZBR) tahun 1938 ) Kemudian dengan berlakunya Undang-undang NIT No. 44 Tahun 1950 ( Stb. No.44 Tahun 1950 ) yang ditetapkan pada tahun 1949, maka otomatis daerah tersebut di atas menjadi daerah menurut Undang-undang NIT No. 44 Tahun 1950 Menurut Undang-undang NIR No. 44 Tahun 1950 Negara Indonesia Timur dibagi menjadi daerah-daerah besar dan kecil yang berhak mengurus Rumah Tangganya sendiri dengan Tingkatan “Daerah Bagian” dan “Daerah Anak Bagian”. Akan tetapi dua tingkatan yang disebut terakhir belum pernah direalisir di Wilayah Nusa Tenggara Barat. Menurut catatatn resmi dari kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja, bahwa pembagian Sunda Kecil sebenarnya akan dijadikan Daerah Swantantra Tingkat I (Propinsi) Bali, Swatantra Tingkat I Lombok Swatantra Tingkat I Sumbawa dan begitu juga NTT. Alasan mereka pada dasarnya sama dan sederhana, yaitu agar daerahnya pesat di dalam pembangunan, karena menurut pengalaman pada waktyu itu daerah yang dekat dengan Pusat/Ibukota Pemerintah lebih pesat dalam hal pembangunan daripada daerah yang jauh dari Pusat / Ibukota Provinsi Pemerintahannya. Namun akhirnya hanya terbagi menjadi tiga sebagaimana yang kita ketahui sekarang. Paparan sejarah tersebut menunjukkan bahwa ada lapis sejarah yang dapat menjadi legal standing atas keabsahan pendirian Propinsi Pulau Sumbawa. Di sisi lain sejarah tersebut juga menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Sumbawa telah jauh mengenal sistem pemerintahan dan memiliki pengalaman yang panjang dalam mengelola pemerintahan. Hal tersebut dibuktikan pula dengan adanya pengakuan dari Belanda ketika kedatangan VOC yang diserang tanpa henti oleh masyarakat Pulau Sumbawa yang melahirkan kontrak politik antara Belanda dengan Raja-raja di Pulau Sumbawa yang disebut dengan kontract met Bima En Sumbawa. Kontrak tersebut berisi tentang pengakuan Belanda atas kedaulatan Raja Sumbawa, Bima, Dompu terhadap Wilayahnya sendiri, serta berhak menjalankan pemerintahan dan hukumnya sendiri. Perjanjian/kontrak ini tetap berlaku dengan pembaharuan dan perubahan sampai dengan terakhir diperbaharui pada tanggal 13 Desember tahun 1938. Fakta sejarah tersebut sesungguhnya sedang menampar seluruh masyarakat Pulau Sumbawa. Ingatan sejarah ini sesungguhnya sedang bercerita bahwa memori 350 tahun nusantara dijajah oleh Belanda tidak berlaku bagi masyarakat Pulau Sumbawa, karena akibat perlawanan gigih kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa saat itu, maka kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa tetap diakui sebagai daerah yang memiliki kedaulatan atas wilayah dan pemerintahannya oleh pemerintah Belanda. Lahirnya ide pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa menjadi momentum untuk mengembalikan kesadaran kemandirian masyarakat Pulau Sumbawa dalam mengelola dan mengatur pemerintahannya sendiri. Fakta yang tidak mungkin bisa dipungkiri jika Pulau Sumbawa masih menjadi bagian dari Propinsi NTB adalah sebuah keniscayaan di mana kemandirian dan ke-diri-an masyarakat Sumbawa akan semakin terasingkan. Hal tersebut dikarenakan oleh pertama: pada dasarnya nama NTB tidak bisa menjadi spirit bagi baik masyarakat Lombok dan Sumbawa dalam menemukan ke-diri-annya di balik nama NTB dalam membangun Propinsi. Nama NTB justeru mengasingkan kesadaran masyarakat dari akar ke-diri-annya dalam perjalanan sejarah. Berbeda dengan nama Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Propinsi lainnya, di mana masyarakatnya justeru menemukan identitas ke-diri-annya di balik simbolisasi identitas wilayahnya. Karena nilai personifikasi diri sebagai orang Jawa melekat dalam nama daerahnya yang juga Jawa, spirit membangun dan bekerjapun menjadi sejalan dengan kebanggaan atas daerah yang sedang dibangun. Berbeda dengan NTB, di mana baik suku Sasak, Mbojo maupun Samawa justru kehilangan identitas ke-diri-annya di balik nama wilayahnya, karena representasi diri tidak tercermin dalam simbolisasi identitas wilayah, serta pada dasarnya diakui atau tidak, tidak ada satu sukupun merasa menjadi orang NTB. Kedua: Perbandingan luas wilayah Pulau Sumbawa adalah 75% dari luas wilayah NTB, sedangkan jumlah penduduk NTB adalah 75% dari jumlah total penduduk NTB. Sistem demokrasi yang diyakini hari ini telah menjadi perangkap bagi masyarakat pulau Sumbawa untuk berkompetisi baik dalam bidang politik, birokrasi maupun pembangunan. Hal tersebut terlihat jelas dari komposisi keterwakilan masyarakat Pulau Sumbawa di DPR RI, DPD RI maupun di birokrasi pemerintahan di Propinsi. Dan tentunya hal tersebut pula menjadi faktor yang membuat stagnannya pembangunan di Pulau Sumbawa yang begitu timpang dibandingkan dengan pembangunan di Pulau Lombok karena kurangnya keterwakilan masyarakat pulau Sumbawa dalam proses pengambilan kebijakan. Lahirnya Propinsi Pulau Sumbawa sebagai titik balik peradaban bagi terbangunnya kembali kesadaran masyarakat Pulau Sumbawa hari ini sudah berada di depan mata. pertemuan-pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri serta Komisi II DPR RI yang membidangi politik dalam negeri sudah intens dilakukan oleh Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S). Sikap resmi Komisi II DPR RI menanggapi pemekaran adalah adalah jika sebuah daerah telah memenuhi ketentuan PP 78 tahun 2007 tentang Pemekaran Dan Penggabungan Wilayah maka tidak ada alasan bagi pemerintah pusat maupun DPR RI untuk tidak memproses pemekaran wilayah tersebut. Sedangkan Kemendagri sedang merivisi kembali grand design pemekaran wilayah yang memuat tentang besaran probabilitas pemekeran wilayah di Indonesia hingga tahun 2005, setelah sebelumnya draft grand design tersebut mendapat keritik tajam dari komisi II DPR RI. Waktu semakin berkompromi bagi masyarakat Sumbawa untuk memberikan kesempatan memperlihatkan keseriusan dan kegigihannya dalam menyatakan kesadaran sejarahnya dihadapan ingatan pengetahuan massa, bahwa masyarakat pulau Sumbawa merupakan masyarakat yang mandiri dalam mengelola pemerintahannya dan tidak pernah takluk dalam 100 kali pertempuran melawan Belanda. Akankah sejarah tersebut masih menjadi ke-diri-an kita sebagai masyarakat Pulau Sumbawa? Jawabannya tergantung pada sejauhmana waktu yang tersisa dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh pemerintah Kabupaten Sumbawa, Bima, Dompu dan Sumbawa Barat dan Kodya Bima beserta seluruh masyarakat Pulau Sumbawa dalam mensinergiskan serta mensistematiskan gerak dan langkah menuju kelahiran kedua masyarakat Pulau Sumbawa dengan lahirnya Propinsi Pulau Sumbawa. Penulis: Poetra Adi Soerjo, S.Sos.I, MA (Master Politik Lokal Dan Otonomi Daerah sekarang bekerja sebagai Tenaga Ahli Komisi II DPR RI)
Comments
0 Comments