Google+

Facebook

pinterest

Twitter

Rss

Sejarah

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terletak antara 115’45 – 119°10 BT dan antara 8°5 – 9°5 LS. Wilayahnya di utara berbatasan dengan Laut Jawa, di selatan dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Sepadan di barat dengan Selat Lombok. Luas wilayah keseluruhan adalah 49.32,19 Km2 yang terdiri atas daratan 20.153,07 Km2 dan lautan 29.159,04 Km2. Dua buah pulau besar yaitu Pulau Lombok dengan luas wilayah daratan 4.738,70 Km2 (23,51%) dan Pulau Sumbawa 15.414,37 Km’ (76,49%). Selain itu juga dikelilingi ratusan pulau kecil. Pulau-pulau kecil tersebut diantaranya Gili Air, Gili Meno, Gili Trawangan, Gili Gede, Gili Nanggu, Gili Tangkong, Pulau Moyo, Pulau Bungin, Pulau Satonda, Pulau Kaung, dan Pulau Panjang.Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai kedudukan yang sangat strategis karena terletak pada lintas perhubungan Banda Aceh-Kupang yang secara ekonomis cukup menguntungkan. Selat Lombok di sebelah barat dan Selat Makasar di sebelah utara merupakan jalur perhubungan laut strategis yang semakin ramai dari arah Timur Tengah untuk lalu lintas bahan bakar minyak dan dari Australia berupa mineral logam ke Asia Pasifik. Merupakan lintas perdagangan ke Kawasan Timur Indonesia ( Surabaya Makasar). Terletak pada daerah lintas wisata dunia yang terkenal: Bali-Komodo-Tanah Toraja. Secara administratif NTB beribukota di Kota Mataram dan terdiri atas 7(tujuh) Kabupaten dan 2 (dua) Kota, masing-masing 4 (empat) Kabupaten/Kota berada di Pulau Lombok dan 5 (lima) Kabupaten/Kota berada di Pulau Sumbawa. Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu propinsi dari 33 propinsi di Indonesia. Kesamaan budaya, agama dan sistim sosial masyarakat mengikat wilayah ini menjadi satu kesatuan teritorial dalam bentuk propinsi, setelah sebelumnya berada dalam wilayah Propinsi Sunda Kecil yang terdiri dari Bali, NTB, dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 1958. Propinsi NTB meliputi dua wilayah pulau besar yaitu Lombok dan Sumbawa. 50 tahun sudah umur propinsi NTB hari ini, tingkat pembangunan belum dapat dikatakan maju. Kementerian Koordinator Kesra menetapkan provinsi Nusa Tenggara Barat dan provinsi Papua sebagai provinsi terburuk dalam pembangunan manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTB secara nasional masih berada pada urutan ke 32 dari 33 propinsi di Indonesia. Posisi itu, belum bergeser dan menempatkan NTB pada peringkat kedua terbawah. Indikator penilaian meliputi 3 hal yaitu angka harapan hidup, angka melek huruf, dan daya beli masyarakat. Angka harapan hidup NTB berkisar hanya sampai 60,9 tahun. Tertinggi di Mataram dan terendah di Lotim. Pada komponen pendidikan, yang tercatat dengan Angka Melek Huruf (AMH) usia 15 tahun ke atas, NTB berada pada angka 80,1 persen. Tertinggi di Kota Mataram dan terendah di Lombok Tengah (Loteng). Angka ini dikatakan mengalami kenaikan dibandingkan periode 2004-2006. Komponen terakhir, yakni pada paritas daya beli masyarakat NTB jika dibandingkan tahun 2005 mengalami sedikit kemajuan. Pada porsi rata-rata pengeluaran sebagai bagian dari indikator penghitungan BPS ini tercatat rata-rata pengeluaran masyarakat NTB Rp 623,9 ribu perkapita. Adapun indeks pendapatan hanya 61,0. Staf khusus Menko Kesra Lalu Mara Satriawangsa menilai, pemerintah provinsi NTB gagal memanfaatkan potensi daerah untuk memberikan akses pendidikan dasar dan meningkatkan angka harapan hidup masyarakat. ” Daya beli masyarakat NTB yang tinggi lebih banyak dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan prestise dan tidak dimanfaatkan untuk berinvestasi di bidang pendidikan dan kesehatan”. Kompleksitas permasalahan pembangunan di NTB melahirkan resistensi masyarakat, terutama berasal dari masyarakat yang berada di pulau Sumbawa. Kesenjangan pembangunan antara pulau Lombok dan pulau Sumbawa menjadi awalan resistensi massa. Hal ini diakibatkan oleh representasi masyarakat pulau Sumbawa yang sangat minim di tingkatan propinsi. Data menunjukkan bahwa luas pulau Lmmbok yang hanya 23,51 persen atau sepertiga dari luas pulau Sumbawa dihuni oleh 2,93 juta jiwa sama dengan 70,65 persen penduduk NTB. Kepadatannya 617,76 jiwa per kilometer persegi. Sedangkan pulau Sumbawa yang meliputi satu kota dan empat kabupaten luasnya 76,49 persen dari luas NTB sama dengan tiga kali pulau Lombok penduduknya 1,22 juta jiwa atau 29,35 persen yang berarti kepadatannya 78,88 jiwa per kilometer persegi. Data tersebut memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat kesenjangan representasi massa yang mengakibatkan terjadsinya dikotomi antara ke dua pulau. Data tersebut tentunya akan berpengaruh pada konfigurasi elit yang menguasai di propinsi. Dalam Pemilihan Gubernur yang akan berimbas pada penempatan posisi jabatan strategis di propinsi, tentunya etnis sasak yang memiliki kwantitas penduduk tiga kali lipat dibandingkan dengan kwantitas penduduk di pulau Sumbawa yang sesungguhnya memiliki luas wilayah tiga kalipat lebih luas dari wilayah pulau L:ombok akan diuntungkan dengan kemenangan angka. Peroblem representasi ini dapat terlihat dari keterwakilan pulau Sumbawa dengan 1 kota dan 4 kabupaten hanya diwakili oleh satu orang dalam pemilihan DPD sedangkan tiga lainnya berasal dari pulau Lombok. Begitu pula representasi yang senjang antar ke dua pulau terlihat dalam komposisi anggota DPR RI dan juga DPRD propinsi. Kesenjangan representasi ini di pertajam kembali oleh kesenjangan tingkat pembangunan dan akses pelayanan publik antar ke dua pulau. Kurang pembangunan infrastruktur di pulau Sumbawa seperti dalam pembangunan jalan raya, baik yang menjadi kewenangan dari pemerintah propinsi maupun yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten sangat terlihat dan menjadi pemicu dikotomi antara pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Fakta tersebut dimanfaatkan oleh kelompok elit lokal dari kedua etnis yang mendiami pulau Sumbawa, yaitu etnis Sumbawa dan etnis Sasak untuk menggiring opini massa kepada isu pemekaran propinsi pulau Sumbawa sebagai satu-satunya jawaban atas kesenjangan pembangunan. Pada akhir tahun 2000 bersamaan dengan terbukanya ruang politik baru bagi masyarakat daerah dengan kebijakan otonomi daerah wacana pemisahan diri pulau Sumbawa dari Propinsi NTB menjadi terangkat ke permukaan. Pulau Sumbawa adalah salah satu pulau besar di Provinsi NTB yang telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang nomor 1958. Letak geografisnya adalah antara antara 115o49’-119o23’ Bujur Timur dan 08o05’-09o09’ Lintang Selatan, dibatasi di sebelah Utara oleh Laut Flores, di sebelah Selatan samudra Hindia / Indonesia, disebelah Barat oleh Selat Alas dan sebelah timur oleh selat Sape. Sebelum digabungkan dengan Pulau Lombok menjadi satu provinsi NTB, pulau Sumbawa merupakan salah satu bagian dari Provinsi Nusa Tenggara yang sebelum tahun 1950 bernama Provinsi Sunda Kecil, besama dengan pulau Bali, Lombok, Sumba, Flores dan Timor Kepulauannya. Pulau – pulau yang tergabung dalam provinsi Nusa Tenggara tersebut kemudian dibentuk dengan Undang-undang yaitu lembaran Negara Hindia Belanda ( Stb. 143 tahun 1946 ) menjadi “Daerah” yaitu daerah Bali, Daerah Lombok, Daerah Sumbawa, Daerah Sumba, Daerah Flores, dan Daerah Timor dan Kepulauannya. “Daerah” tersebut memperoleh penyerahan kekuasaan / urusan – urusan dari Swapraja – Swapraja yang ada di dalam daerah Masing – masing. Sedangkan Pemerintahan Daerah terdiri dari kepala Daerah dan Dewan Raja – raja. Hal ini dilaksanakan sebelum berlakunya Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950. Perjanjian penyerahan kekuasaan / urusan – urusan dari Swapraja – Swapraja kepada Daerah yang ditandatangani oleh Dewan Raja – Raja tersebut yang kemudian dikenal dengan nama daerah Statuta, merupakan dasar hukum dari pada Otonomi Daerah yang lazim dicantumkan dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah. Daerah Statuta Pulau Sumbawa dibentuk dengan Undang-Undang Federasi Pulau Sumbawa yang ditetapkan oleh Raja-Raja di Pulau Sumbawa pada tanggal 23 Agustus 1948. Kemudian dengan berlakunya UU NIT Nomor 44 Tahun 1950 (Stb. Nomor 44 tahun 1950) maka daerah tersebut menjadi daerah menurut UU NIT Nomor 44 tahun 1950 yang selanjutnya sejauh mungkin disesuaikan dengan UU Nomor 22 tahun 1948 (yang berlaku untuk bekas wilayah RI Yogyakarta serta Daerah –daerah lain yang tidak termasuk wilayah Indonesia Timur, akan tetapi mengenai otonominya ’daerah’ tetap lebih luas dibandingkan dengan Kabupaten di Jawa. Menurut catatan resmi dari Kantor Gubernur Nusa Tenggara di Singaraja, keinginan rakyat mengenai pembagian daerah Nusa Tenggara menjadi Daerah Swatantra Tingkat I adalah sama dalam tuntutan maksimalnya, yaitu : semua keinginan agar masing- masing daerah pulau dijadikan Daerah Swatantra Tingkat I. Alasan mereka pada dasarnya sama dan sederhana, yaitu agar daerahnya pesat maju dalam pembangunan, karena menurut pengalaman pada waktu itu daerah yang dekat dengan pusat / ibukota pemerintahan lebih pesat dalam hal pembangunan dari pada daerah yang jauh dari pusat / ibukota pemerintaha. Tetapi akhirnya DPR – RI memutuskan Nusa Tenggara menjadikannya 3 Daerah Swantantra Tingkat I, yaitu Bali berdiri sendiri, NTB terdiri dari pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, dan NTT terdiri dari pulau Sumba, Pulau Flores, dan Pulau Timor dan Kepulauannya, sebagaimana termuat dalam UU nomor 64 tahun 1958. Ditinjau dari segi sejarah, di pulau Sumbawa sejak 500 tahun yang lalu telah berjalan pemerintahan kerajaan yang berkesinambungan dari abad 14 sampai dengan abad 20 yaitu kerajaan Bima, Dompu, dan Sumbawa. Masing-masing kerajaan mempunyai kesatuan pemerintahan Adat dan perangkatnya dan wilayah kekuasaannya meliputi batas wilayah Kabupaten sekarang ini. Dari tradisi tulis menulis tersimpan sampai sekarang di Bima dokumen naskah-naskah lama yang tercatat kegiatan pemerintahan yang tertib dan demokratis, sejarah kebudayaan telah ada jauh sebelum kedatangan agama Islam hingga dijalankan pemerintahan menurut Agama Islam dan adat setempat. Termasuk pula hubungan interaksi antar daerah dengan daerah-daerah lain seperti Makasar, Kalimantan, Jawa, Sumatera dll. Keadaan ini yang ditemukan oleh VOC (Belanda) waktu pertama kali datang ke Bagian Timur Indonesia tahun 1667 yang disambut dengan perlawanan dan pertempuran yang pada suatu saat mengakibatkan dibuatnya perjanjian politik dengan para Raja-raja di Pulau Sumbawa (yang setelah beragama Islam disebut Sultan) dengan pengakuan kedaulatan Raja atas Wilayahnya sendiri, berhak menjalankan pemerintahan dan hukumnya sendiri. Perjanjian / kontrak ini tetap berlaku dengan pembaharuan dan perubahan sampai dengan terakhir diperbaharui pada tanggal 13 Desember tahun 1938 ( kontract met Bima En Sumbawa ). Pada saat menghadapi VOC ketiga kerajaan di Pulau Sumbawa tetap bersatu dan bersama–sama menghadapi tantangan dan cobaan yang dilontarkan oleh pihak luar dan secara berkala mengadakakan hubungan kunjungan–kunjungan, musyawarah dan bahkan sejak beberapa abad menjalin hubungan keluarga kawin mengawin / antar keluarga raja maupun warga masyarakat. Ketiga daerah Swapraja di Pulau Sumbawa merupakan daerah yang disebut dengan zelfbestuur (daerah berpemerintahan sendiri) yang tidak langsung diperintah oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di dalam istilah pemerintahan digolongkan, yang dinamakan dengan indirect Bestuurs-Gebied adalah yang tetap diperlakukan sampai dihapusnya status daerah Swapraja dengan UU Nomor 1 tahun 1957. Kerajaan–kerajaan lain yang pernah ada di pulau Sumbawa adalah kerajaan Pekat dan Tambora, hilang / hapus setelah meletusnya Gunung Tambora pada tahun 1814 dan Kerajaan Sanggar digabungkan ke Kerajaan Bima pada tahun 1929, sebagai ganti daerah Manggarai di Flores yang dimasukkan ke wilayah Pulau Flores.
Gema Awal Provinsi Sumbawa
Gema Awal Provinsi Sumbawa di Kumandangkan dari Bandung Banyak yang mengira rencana pembentukan Provinsi Sumbawa awalnya di gaungkan oleh para elit senior asal pulau Sumbawa, ternyata anggapan itu salah besar. Gaung pembentukan Provinsi Sumbawa mulai berhembus sejak tahun 1999 dengan penggagasnya seorang aktivis muda yang berdomisili di kota Bandung. Berkat kepiawaiannya mengolah isue, maka gaung pembentukan provinsi Sumbawa ini mendapat respon positif dari para elit pulau Sumbawa yang berada di berbagai wilayah Indonesia. Dialah Arif Hidayat kelahiran Kecamatan Alas Kabupaten Sumbawa, seorang Aktivis muda yang pada tahun 1999 itu masih berumur 25 tahun berani membuat gagasan yang belum terpikirkan oleh elit asal pulau Sumbawa. Gaung pembentukkan Provinsi Sumbawa mulai terdengar saat Harun Al- Rasyid menjabat sebagai Gubernur NTB tahun 1998. Gaung ini terkait dengan banyak posisi di Pemprov NTB yang semula diisi oleh etnis dari pulau Sumbawa digantikan oleh Etnis Sasak. Ditambah dengan perencanaan Pemprov NTB yang justru memberikan porsi yang lebih besar dalam hal anggaran pembangunan untuk pulau Lombok. Kenyataan ini melahirkan perlawanan dari komponen masyarakat yang berasal dari pulau Sumbawa, perlawanan ini muncul sejak tahun 1999 di saat umur pemerintahan Harun baru setahun. Wacana tentang pembentukan Provinsi Sumbawa sudah muncul saat Ikatan Keluarga NTB Jawa Barat yang dipimpin oleh M.Hatta Taliwang dengan Sekretaris Arif Hidayat mengadakan acara Silaturrahim di Bandung pada tanggal 1 Maret 1999 yang menghadirkan Gubernur NTB H. Harun Alrasyid. Wacana ini kemudian dikongretkan dengan pembentukan The Reseach Network Strategic for Sumbawa (RNS2) atau yang dikenal dengan Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa oleh Arif Hidayat beberapa bulan kemudian. Selain minim keterwakilan etnis Sumbawa di Pemerintahan Provinisi, semangat pembentukan Provinsi Sumbawa juga diilhami oleh minimnya keterwakilan etnis Sumbawa di tingkat DPR / MPR RI. Saat itu, semua utusan daerah yang berjumlah 4 orang berasal dari etnis Sasak. Perjuangan untuk menempatkan wakil dari pulau Sumbawa tidak pernah diakomodir. The Reseach Network Strategic for Sumbawa (RNS2) atau yang dikenal dengan Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa yang didirikan di bandung pada tanggal 30 Agustus 1999 mulai mengadakan kampaye tentang perlunya pembentukan Provinsi Sumbawa. RNS2 yang didirikan oleh aktivis muda Arif Hidayat mulai berkampanye melalui opini-opini melalui media massa local yang ada di NTB. Tahun 2000 mulai menyebarkan leaflet yang berisi pesan moral pembentukan provinsi Sumbawa. ( lihat pernyataan sikap LSM) Tepat tanggal 11 Desember 2000 RNS2 mulai meluncurkan milis dengan nama http://yahoogroups.com/group/propinsi_sumbawa Dari milis tersebut kemudian RNS2 meluncurkan media online beralamat di http://sumbawa.tripod.com. Dan kemudian pada tahun 2006 berubah menjadi www.sumbawanews.com. Pada tahun 2001 The Research Network Strategic for Sumbawa, Ikatan keluarga Sumbawa Bandung ( IKSB ), Ikatan Keluarga NTB – Jabar ( IKNTB – Jabar ), Pusat Peran Serta Masyarakat Presidium Sumbawa, Yayasan pemberdayaan & Pengembangan Masyarakat desa ( YPPMD ), Forum Silaturahmi Generasi Muda Alas ( Forsema ) telah mengeluarkan media Support yang berisi semangat pembentukan propinsi Sumbawa dan pemekaran wilayah di kabupaten Sumbawa. Bentuk media yang telah disebarkan berupa : a. Kartu lebaran sebayak 1150 lembar dengan distribusi seluruh anggota DPR / MPR RI di jakarta, pejabat-pejabat pemerintah, DPRD Pemprop NTB, Pejabat di NTB, DPRD & Pemda Pemkab di Pulau Sumbawa, tokoh-tokoh masyarakat, LSM dan media massa b. Pamplet Sebanyak 4000 lembar yang disebar diwilayah NTB. Leaflet Sosialisasi pembentukan PPS dan KSB disebarluaskan tahun 2000 yang diinisiasi oleh Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa yang bermarkas di Bandung Leaflet Sosialisasi pembentukan PPS dan KSB disebarluaskan tahun 2000 yang diinisiasi oleh Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa yang bermarkas di Bandung Melalui jaringan yang ada Arif juga merancang seminar tentang rencana pembentukan propinsi sumbawa diadakan oleh Forum pengkajian pengembangan Pulau Sumbawa di Sumbawa Besar pada hari Minggu 15 januari 2001. Seminar tersebut merupakan persiapan untuk diadakannya seminar serupa di Jakarta. sebagai support untuk pemekaran wilayah di Kab. Sumbawa akan diadakan sidang rakyat yang juga direncanakan medio Maret 2001. Seminar yang direncanakan 15 Januari 2001 di Sumbawa Besar akhirnya diundur menjadi 23 Januari 2001. Agenda besar lainnya juga dilaksanakan pada 11 Maret 2001 dengan tema Kongres Rakyat Sumbawa Barat di Lapangan sepakbola Karato Kecamatan Alas, Kongres ini diketuai oleh Sdr. Agus Adrianto dan dihadiri oleh Ribuan masyarakat dan perwakilan dari 8 Kecamatan yang ada di wilayah Barat Kabupaten Sumbawa. Di Jakarta, Acara halal Bihalal yang diadakan oleh Badan Komunikasi masyarakat Pulau Sumbawa (Bakom MPS) Jakarta sekaligus dirangkaikan dengan deklarasi pembentukan Propinsi Sumbawa. acara yang berlangsung pada hari Minggu, 14 januari 2001 dilaksanakan di Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia. Acara yang melibatkan tiga komponen masyarakat Pulau Sumbawa, yaitu Sumbawa, Bima dan Dompu tersebut juga dihadiri oleh tokoh-tokoh lokal NTB yang juga aktif mensosialisasi pembentukan propinsi Sumbawa. Tiga utusan dari NTB yang mengatasnamakan TIM Pengkajian Pengembangan Pulau Sumbawa ( TP3S ) propinsi NTB yaitu Bpk. M. Yakup MT, Ibu Mariyam dan KH. Ust Zulkifli dari Taliwang Sumbawa yang saat ini menjabat sebagai Bupati Kabupaten Sumbawa Barat. Di sumbawa sendiri pada saat yang sama sudah terbentuk Forum pengkajian pengembangan Pulau Sumbawa yang juga melaksanakan seminar pada Senin, 23 january 2001. seminar yang mengetengahkan tema rencana pembentukan propinsi Sumbawa di gelar di Sumbawa Besar. Seminar yang diikuti sekitar 400 orang ini, sepakat bahwa propinsi sumbawa tetap merupakan target utama masa depan pulau Sumbawa. Sementara itu di Mataram dalam acara Halal Bihalal Masyarakat Pulau Sumbawa di Lombok, minggu, 28 January 2001 dirangkaikan dengan Deklarasi pembentukan Propinsi Sumbawa. Ketua TIM Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (P3S) NTB Bapak. Yakub MT. menjelaskan pemebentukan propinsi Sumbawa merupakan keharusan bagi masyarakat pulau Sumbawa, untuk kemudian NTB hanya akan menjadi Wilayah Lombok saja. Ditempat terpisah, pada waktu yang sama hari Minggu, 28 january 2001 dilaksungkan halal Bihalal warga Sumbawa sebandung raya. Pada kesempatan tersebut digelar dialog mengenal isue daerah Sumbawa terkini. termasuk rencana pembentukan propinsi Sumbawa. Acara yang dihadiri oleh (Hatta Taliwang Anggota DPR RI), Drs. Saruji Masnirah, MSI, Drs. Hatta Yusuf, Drs. Darmakusumah, Msi, Kol. TNI. AL. Mochtar Adam dan sesepuh Sumbawa di Bandung cukup meriah. Pada tanggal 25 Perbuari 2001 diadakanlah sarasehan nasional masyarakat pulau Sumbawa di Bandung yang bertemakan “Menyatukan Persepsi Dalam Menyikapi Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa” yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Sumbawa – Bandung. Dalam sarasehan tersebut terkuak Wacana pembentukan propinsi Sumbawa yang merupakan akumulasi distribusi kekuasaan yang tidak merata di antara etnis di NTB.(lihat isi saresehan) Sebelum sarasehan ini terlaksana, insiden retaknya komponen pengusung pembentukan provinsi Sumbawa mulai terjadi. Hal ini terkait dengan pemberitaan kompas 14 Pebruari 2001 yang mengutip pernyataan Mendagri bahwa pemerintah telah menerima usul pembentukan Provinsi Bima. Beberapa perwakilan dari Mataram, Sumbawa, Jakarta dan Jawa Barat hadir dalam sarasehan di Bandung. Hasil sarasehan tidak ditanggapi positif oleh penggagas provinsi Sumbawa yang berasal dari Etnis Samawa, dikarenakan masih tidak percaya akan komitmen yang telah dibangun. Etnis Samawa tidak yakin jika provinsi terbentuk maka ibu kotanya berada di Kabupaten Sumbawa, apalagi dengan pemberitaan di harian kompas yang menyatakan provinsi Bima. Hampir 2 tahun gema pembentukan Provinsi Sumbawa menghilang, bahkan wakil-wakil Samawa yang ada di Komite pembentukan provinsi Sumbawa yang ada di Mataram menarik diri Karena belum adanya klarifikasi tentang provinsi Bima. Awal tahun 2003, geliat pembentukan provinsi Sumbawa mulai terdengar dan beberapa kali di Jakarta diadakan pertemuan guna persiapan rapat paripurna komite pembentukan provinsi sumbawa pada tanggal 15 maret 2003. Mulai tahun 2003, Kommite Pembentukan propinsi Pulau Sumbawa (KP3S) mulai melakukan kampanye pembentukan provinsi Sumbawa, bahkan pernah melakukan roadshow sosialisasi ke Kab. Sumbawa, dan Kota Bima. Kampanye juga dilakukan dengan menyebarkan spanduk, poster dan realease melalui media massa local NTB. Pada tanggal 19 November 2006 diadakan pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa dalam rangka persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi aerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Nota persetjuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR KAbupaten SUmbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Sekedar catatan, Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Bima, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima dan Bupati dan Ketuan DPRD Kabupaten Dompu, sudah jauh hari mengeluarkan SK persetujuan pembentukan PPS dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Turut menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar, Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI, Hamzan Zulva. Seperti halnya nota persetujuan bersama, Jamaluddin Malik atas nama Bupati Sumbawa dalam SK No. 1452 Tahun 2006 itu menegaskan kalau pemerintah Kabupaten Sumbawa akan menarik diri dari pembentukan PPS, jika kajian DPOD atau lembaga lain menyatakan kalau Kota Sumbawa Besar tiak menjadi IbuKota Provinsi. konon, penegasan yang sama dibuat oleh Bupati dan DPRD Kabupaten Sumbawa Barat. Pada tahun 2006 pula pemerintah kabupaten Sumbawa menganggarkan anggaran 100 juta rupiah dari APBD untuk mendanai Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S). Kinerja KP3S selanjutnya mengarah kepada permintaan persetujuan dari DPRD Propinsi dan Gubernur NTB. Hasil yang cukup memuaskan diperoleh dengan dipersetujuan dari DPRD propinsi dan kebijakan gubernur NTB membentuk tim pengkaji pembentukan propinsi Pulau Sumbawa yang diketuai oleh Mantan Rektor UNRAM DR. Arifuddin Sahidu. Hingga hari ini tahun 2008 seluruh mata tertuju pada hasil penkajian naskah akademik yang disusun oleh tim pengkaji tersebut yang hingga tahun 2010 baru diserahkan ke sekretariat Komisi II DPR RI. Peranan Dan Kepentingan Serta Dinamika Relasi Elit Dalam Pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa Yang Melahirkan Benih Konflik Horizontal Isu pemekaran Propinsi Pulau Sumbawa yang berawal dari sebuah euforia politik pasca orde baru, ditandai dengan dibukanya kran demokrasi dan runtuhnya sistim sentralisasi membawa angin segar perubahan bagi basis politik di daerah. Desentralisasi adalah kebijakan pertama sebagai penanda beralihnya rezim otoritarian. Alam keterbukaan ini disambut oleh berbagai daerah di Indonesia dengan tuntutan pemekaran wilayah. Tercatat terdapat 16 wilayah setingkat propinsi yang mengalami pemekaran dalam kurun waktu 10 tahun reformasi, Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Departemen Dalam Negeri, Daeng Muhammad Nazir mengatakan, masih terdapat 131 usulan pembentukan daerah otonom baru baik provinsi maupun kabupaten/kota. Dari 131 usulan tersebut, 17 di antaranya yang diajukan sebelum diberlakukannya UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan telah dibahas undang-undang pembentukannya oleh DPR. Saat ini Indonesia memiliki 530 daerah otonom, terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, 93 kota, 5 kota administratif, dan 1 kabupaten administratif. Selama 1999-2009, terbentuk 205 daerah otonom baru dari berbagai tingkatan, atau bertambah lebih dari 63 persen dibandingkan dengan jumlah daerah otonom di akhir masa Orde Baru. Evaluasi kinerja pemerintahan daerah yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) pada 2008 menunjukkan, dari 148 daerah otonom baru yang dimekarkan antara 1999-2007, sebanyak 49 daerah berkinerja pemerintahan tinggi dan 28 daerah berkinerja rendah. Sisanya, sebanyak 71 daerah, tak bisa dievaluasi karena tidak menyampaikan laporan kinerja pemerintahan. Hasil evaluasi daerah oleh Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan ada 34 daerah yang menjadi tertinggal atau miskin setelah dimekarkan. Meski hasil evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukkan hasil yang kurang baik, usulan pemekaran daerah tetap mengalir dan diakomodasi Kemdagri, DPR, dan DPD. Hingga akhir Desember lalu, tercatat 112 usulan daerah otonom baru yang diajukan ke Kemdagri. Jika ditambah dengan usulan yang masuk melalui DPR dan DPD, jumlahnya dipastikan membengkak sebab banyak usulan pemekaran daerah diajukan melalui DPR karena lebih mudah. Dari beberapa daerah otonom baru itu, ada yang masih menghadapi berbagai kendala dan menimbulkan persoalan serta belum mampu mandiri seperti diharapkan. Berdasarkan evaluasi, sekitar 89,5 persen kabupaten/kota induk belum memberikan dukungan dana, sehingga sering terjadi sengketa. Lalu, 91,2 persen belum memiliki rencana umum tata ruang serta beberapa kabupaten/kota masih rebutan ibukota. Propinsi pulau Sumbawa merupakan bagian dari wilayah di Indonesia yang mengalami dinamika tuntutan pemekaran. Berawal dari diskusi-diskusi kecil para mahasiswa Sumbawa di berbagai daerah yang terkonstruksi oleh framing media akan dinamika maraknya dinamika pemekaran, maka lahirlah niatan masyarakat dan pemuda Sumbawa untuk mengambil bagian dalam berdialektika memikirkan keterbelakangan pembangunan di wilayah pulau Sumbawa sebagaimana tulisan kami pada bagian proses pemekaran propinsi pulau Sumbawa sebelumnya. Pada bagian ini kami kami lebih akan memfokuskan kajian pada peranan dan kepentingan elit dalam proses pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Elit sebagaimana konsepsi tentang elit dalam pandangan etnis di NTB, mengambil bagian dalam isu pemekran sejak awal isu ini digulirkan dalam sarasehan masyarakat pulau Sumbawa di Bandung. Isu-isu normatif yang meniscayakan pentingnya pemekaran wilayah propinsi NTB, menjadi lahan masuk elit untuk mengambil posisi dalam dialektika isu pemekaran. Di sisi lain data minimnya representasi elit di wilayah pulau Sumbawa dalam pengambilan kebijakan di tingkat propinsi NTB yang diakibatkan oleh kompsisi yang tidak seimbang dalam pembagian jabatan antara ke dua pulau semakin menguatkan posisi elit dalam dialektika isu. Realasi kuasa antara refleksi sadar masyarakat di pulau Sumbawa atas realitas keterbelakangan pembangunan dengan kepentingan elit untuk mempertahankan kekuasaan dengan memperluas ruang kuasa menemukan titik temu dalam isu pemekaran peropinsi pulau Sumbawa. Elit dalam masing-masing etnis di pulau Sumbawa (Samawa dan Mbojo) yang memang secara geneologi memiliki basis pada sistim kultural etnis semakin mampu menanamkan legitimasi dirinya dalam memori kolektif massa dengan memperjuangkan isu populis yang sedang populer di masyarakat. Relasi kuasa makna tersebut tentunya menjadi ruang penting bagi elit untuk terus direproduksi dalam upaya mempertahankan agar tidak terjadi demotion bagi diri dan basis akar massanya. Kepentingan untuk tetap mendapatkan ruang kekuasaan, ketika tidak lagi mampu bersaing merebut dan mempertahankan ruang kuasa yang sedang mereka tempati hari ini pada tingkatan kabupaten, menjadikan elit mau tidak mau harus mampu menancapkan peranan yang kuat untuk mendukung dan mengupayakan keterbentukan propinsi pulau Sumbawa. Kerapuhan sistim kultural etnisitas pada kedua suku (Samawa dan Mbojo) dalam pemaknaan atas elit bagi sukunya di tengah degradasi budaya modern akan nilai-nilai primordialisme, menjadikan elit politik yang ada hari ini mengalami promotion melalui sistim demokrasi baik yang memiliki akar kultural pada masing-masing suku maupun yang berasal dari pranata sosial rendah dalam terminologi kesukuan. Legitimasi etnisitas atas elit politik menjadikan para elit memandang isu pemekaran layaknya dua keping mata uang. Di satu sisi keberhailan dalam meperjuangkan isu pemekaran propinsi Sumbawa akan membawa mereka pada kemapanan kekuasaan politik yang di legalkan oleh negara dalam bentuk jabatan legislatif maupun esekutif, sedangkan pada sisi yang lain, kemampuan mereka dalam menempati struktur kekuasaan juga akan menambah legitimasi dirinya melalui pengakuan basis etnisitas dan mendapatkan ruang tersendiri dalam pranata etnis. Kemampuan elit lokal pulau Sumbawa yang membaca begitu kuatnya resitensi masyarakat etnis Samawa dan Mbojo akan kebijakan negara jika sentimen primordial etnis dimainkan merupakan kepentingan lain bagi elit politik. Kondisi antropologis etnis Samawa dan Mbojo yang memiliki keterikatan yang sangat kuat dalam menjaga identitas keetnisannya, menjadi peluang besar bagi para elit untuk memainkan isu pemekaran dalam konteks negosiasi dengan pemerintah propinsi dan pusat. Menguatnya wacana politik identitas dalam berbagai kasus tiap menjelang pesta demokrasi di NTB adalah bagian dari dinamika penguatan politik identitas sebagai bergaining power percepatan pemekaran. Disinilah sisi negatif keterlibatan elit yang memainkan isu etnisitas dalam pemekaran propinsi pulau Sumbawa. Mengedepankan politik identitas untuk mempertajam dialektika isu bukannya menjadikan percepatan realisasi pemekaran propinsi Sumbawa. Kepentinga elit dalam merebut kuasa dengan memainkan poilitik identitas justru melahirkan benih-benih konfliok horizontal pada ke tiga etnis besar di NTB. Perbedaan yang begitu signifikan pada ke tiga etnis besar di NTB yaitu Sasak, Samawa dan Mbojo di tandai dengan berbedanya bahasa dan identitas sistim adat yang mereka miliki merupakan celah besar bagi peluang terjadinya konflik horizontal. Tarik ulur keputusan pemerintah propinsi atas persetujuan pemekaran, pertentangan yang terjadi antara etnis Samawa dan Mbojo dalam penempatan posisi ibu kota propinsi disambut dengan percekcokan dalam interaksi masyarakat di tingkatan bawah. Almarhum Riswanda Imawan staf dosen fisipol UGM membaca dinamika konflik elit dengan teori pendulum yaitu, terjadinya sedikit pergesaran pada titik pendulum akan melahirkan sebuah dinamika besar pada ujung pendulum. Dalam hal ini politik identitas yang dimainkan oleh elit politik dalam melakukan negosiasi isu pemekaran melahirkan dialektika dinamika yang begitu besar pada basis massa etnisitas. Titik benih konflik horizontal antar ke tiga etnis semakin menguat ketika muncul steatment Mendagri dan Otonomi, Suryadi Sudirja dalam harian kompas, Rabu, 14 Pebruari 2001. Dalam laporan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah telah menerima usulan pembentukan daerah otonom baru yang terdiri dari 13 Provinsi, 44 Kabupaten, 10 peningkatan status wilayah pembantu kabupaten, 24 peningkatan status kota administratif dan lima usulan pembentukan kota. Ketiga belas provinsi tersebut adalah Banten, Gorontalo, Bangka, Madura, Tapanuli, Bima, Flores, Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Kalimantan Utara, Maluku Tenggara, Ketapang, dan Luwu Raya. Sumbawa yang didengungkan ternyata Bima yang muncul. Ada apa di balik ini ? konflik mulai ditoreh. Pernyataan tersebut, melahirkan konflik antar elit dalam pulau Sumbawa yang sama-sama telah menyatukan tekad memperjuangkan keterbentukan propinsi pulau Sumbawa. Tarik ulur kepentingan elit antar etnis Samawa dan Bima mulai terjadi. Penentuan letak ibu kota propinsi menjadi titik permasalahan. Kodya Bima diuntungkan secara praturan karena telah memiliki Kota Madya sedangkan pada wilayah kabupaten Sumbawa belum terdapat Kota Madya. Perebutan calon ibu kota propinsi mengakibatkan ketidak harmonisan hubungan pemerintahan Sumbawa besar dan Bima. Puncak dari sikap dingin ini adalah terjadinya boikot jalan yang dilakukan masyarakat sumbawa terhadap kendaraan umum maupun pribadi yang menuju Bima dan sebaliknya. Berbuntut terjadinya bentrok masyarakat Bima dan masyarakat Sumbawa di camp pekerja PT Newmont Nusa Tenggara batu hijau sumbawa yang menewaskan 3 orang dan puluhan korban lainnya luka-luka dari kedua pihak pada tahun 2003. Pada tanggal 16 september 2006 dimotori oleh Putri Sultan Bima yang juga Ketua Umum Komite Pembentukan Propinsi Pulau Sumbawa (KP3S), Hj.Siti Maryam Rahmat melakukan pertemuan di pantai Lakey kab Dompu yang dihadiri oleh Bupati dan Ketua DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota Bima dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali. Dari pertemuan tersebut disepakati tentang ibu kota propinsi pulau sumbawa yaitu di sumbawa besar, demi menjaga stabilitas masyarakat pulau sumbawa. Dari pertemuan segitiga etnis Mbojo tersebut (Kab Dompu, Bima dan Kota Bima) dilanjutkan dengan Pertemuan Bupati dan Ketua DPRD Se Pulau Sumbawa yang berlangsung Minggu pagi 20 November 2006, merupakan momen bersejarah bagi perjuangan Pembentukan Provinsi pulau Sumbawa (PPS). Betapa tidak, pada pertemuan di Sumbawa tersebut, menjadi ajang persetujuan bersama Bupati/Wali Kota dan Ketua DPRD se Pulau Sumbawa untuk mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dengan Ibu Kota di Sumbawa Besar. Dalam persetujuan bersama tersebut, ditekankan jika hasil kajian Dewan Pertimbangan Otonomi daerah (DPOD) atau Lembaga lain menyatakan bahwa Sumbawa Besar tidak layak dijadikan Ibu Kota PPS, maka pemerintah Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) akan menarik diri dari pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa. Nota persetujuan bersama itu, ditandatangani oleh Bupati dan Ketua DPRD Sumbawa, Drs Jamaludddin MAlik dan Muh. Amin SH, Bupati dan Ketuan DPRD Bima, Ferri Zulkarnaen ST dan Drs H Muhdar Arsyad, Wali Kota dan Ketua DPRD Kota Bima, Drs H M Nur Latief dan Chaerul Adnan, Wakil Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Dompu, Syaifurahman Salman SE dan A M Talib HM Ali, dan Ketua DPR Kabupaten Sumbawa Barat, Drs Manimbang Kahariyadi. Turut menyaksikan penandatanganan nota persetujuan bersama itu, Ketua dan Tokoh KP3S Sumbawa, Mataram dan Jakarta, yakni M Ikraman SPt, Ir Abdul Rais, Hj S Maryam R Salahuddin SH, H Agusfian Wahab SH, HM Saleh Umar, Amir JAwas. Selain itu, juga disaksikan oleh anggota DPR RI, Hamdan Zulva. Persoalan tidak berakhir sampai disitu, masyarakat Lombok (sasak) menanggapi sinis atas nota persetujuan dalam rangka pembentukan propinsi pulau sumbawa. Celah demi celah dimasuki, rentetan aksi serta peristiwa etnis yang terjadi di NTB tidak terlepas dari ketidak relaan Lombok melepas Sumbawa dalam kesatuan provinsi NTB. Mulai dari tersendat-sendatnya pemekaran Lombok Utara dan Kota Selong hingga saat ini. Jika kita merunut pada perundang-undangan yang berlaku, provinsi induk (NTB) minimal harus memiliki lima kab/kota. Keterkaitan penikaman saudara Ridwan, salah seorang mahasiswa IKIP mataram asal Bima juga merupakan buntut kesinisan masyarakat sasak. Pada saat Pilgub NTB tahun 2003, yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur NTB adalah Harun Al Rasyid keterwakilan dari etnis Mbojo dari kabupaten Bima dan kembali mencalonkan diri. Dinamika proses pemilihan gubernur NTB menjadi momentum rivalitas antar etnis. Pilgub tahun 2003 dimenangkan oleh Lalu Srinate yang berasal dari etnis Sasak, yang bagi sebagian orang Bima mengatakan bahwa kemenangan L. Srinata menjadi jargon kemenangan etnis Sasak. Beberapa tulisan ditembok maupun spanduk menghujat etnis Mbojo (Bima) disertai dengan berbagai cacian dan umpatan yang menyakitkan, tentunya dengan menggunakan bahasa Sasak. Mataram bergejolak, walau itu tidak sampai menimbulkan keributan yang signifikan karena aparat kepolisian sigap dalam membaca kondisi. Masalah tidak sampai disitu, konvoi sepeda motor yang mengolok-olok masyarakat Bima yang tinggal di Lombok (khususnya Mataram) oleh masyarakat lombok kian berani. Puncak dari suasana tersebut adalah terjadinya bentrok antara mahasiswa Pertanian UNRAM yang didominasi mahasiswa Bima, Dompu dan Sumbawa (semuanya dari pulau Sumbawa) dengan Mahasiswa Tekhnik UNRAM yang didominasi oleh Mahasiswa Lombok dan Bali. Bentrokan ini berimbas pada pemboikotan transportasi Bima-Mataram dan begitupun sebaliknya. Mataram mencekam selama 2 hari. (Kilas, 29/5) Dalam struktur birokrasi pemerintahan provinsi juga terkena imbas, para pejabat teras yang menempati kursi Kanwil, Kadis, Badan maupun kabag khususnya etnis Mbojo dan Samawa dimutasi secara besar-besaran. Hal ini dilakukan dengan alasan penyegeran roda kepemerintahan. Diskriminasi sukuisme dimulai, Masyarakat Bima (Mbojo) mengadakan acara halal bihalal di Jakarta pada mei 2002. disela acara halal bihalal yang diselenggarakan oleh Komunitas Lamba Rasa juga membahas kesiapan serta kesepakatan masyarakat Bima untuk terus memperjuangkan provinsi Pulau Sumbawa dengan kesepakatan bahwa ibu kota provinsi berada dikota Bima sesuai dengan salah satu ketentuan UU, bahwa ibu kota propinsi harus berada dalam wilayah kota madya. Prof. Dr (alm) Affan Gafar menyatakan bahwa sudah saatnya kita membangun tanah kelahiran kita sendiri oleh diri kita sendiri. Lombok awalnya bukan bagian dari wilayah Nusa Tenggara Barat, namun dari Sunda Kecil (Bali) karena sama-sama etnis sasak. Tak disangka, pernyataan almarhum Prof.Dr Afan Gaffar mengundang reaksi serius dari masyarakat sumbawa. Hal ini juga dipicu oleh pernyataan Mendagri dan Otonomi Daerah, Suryadi Sudirja bahwa salah satu daerah yang merupakan daerah otonom baru adalah Bima, bukan Sumbawa. Politik mulai merasuki sendi perseteruan etnis ini. Dalam menganggapi hal tersebut Arif hidayat, pencetus Sarasehan nasional masyarakat Pulau sumbawa di bandung pada awal 2001 lalu segera menyelenggarakan Kongres Rakyat Sumbawa di kec Alas yang dihadiri ribuan warga. Kesepakatan yang dicapai adalah, ibu kota propinsi yang akan dibentuk harus di Sumbawa Besar. Pada Pilgub langsung NTB 2008 lalu, politik etnisitas semakin menguat. Ketiadaan wakil dari etnis Mbojo (Bima dan Dompu) serta kewajiban bagi Cagub dan Cawagub untuk menandatangani persetujuaan pemekaran propinsi semakin meningkatkan eskalasi kegentingan sosial di NTB. Tidak diakomodirnya Sumber Daya Manusia (SDM) asal Bima dan Dompu sebagai Calon Wagub NTB periode 2008-2013, melahirkan kekecewaan dari masyarakat suku Mbojo ini. Hujatan sengitpun terlontar yang tak patut untuk disimak dan didengarkan. Warga Mbojo memberikan ultimatum 100% Golput karena pilgub 2008 tidak bernuansa NTB, melainkan pilgub Lombok. Sikap dan pernyataan itu, bukan saja berlaku dikalangan masyarakat biasa. Tetapi, juga muncul di kalangan elit termasuk pihak akademisi. Isu golput sebagai sebuah isu antara melahirkan sebuah tuntutan baru bagi masyarakat suku Mbojo yaitu percepatan pemekaran propinsi pulau Sumbawa. 2 opsi yang diberikan oleh masyarakat suku Mbojo yaitu Golput atau percepatan pemekaran memepengaruhi relasi kuasa anta relit yang sedang bertarung dalam pilgub NTB. Pasangan cagub dan cawagub yang seluruh calon gubernurnya berasar dari etnis sasak dan seluruh wakilnya berasal dari etnis Samawa dipaksa untuk membuat kontrak politik persetujuan percepatan pemekaran jika mereka terpilih. Masyarakat Sumbawa sendiri mengeluarkan ultimatum boikot Pilgub 2008 jika para calon tidak memiliki itikad baik untuk memepercepat pemekaran propinsi pulau Sumbawa, sebagaimana dikatakan oleh Amir Jawas tokoh Sumbawa di Jakarta yang sedari awal memperjuangkan pemekaran.
PERNYATAAN SIKAP DUKUNGAN TERHADAP ASPIRASI PEMBENTUKAN PROPINSI SUMBAWA (SUMBAWA, BIMA, DOMPU ) DAN KABUPATEN SUMBAWA BARAT 
 Dengan rahmat Allah SWT segenap komponen dan lapisan masyarakat Sumbawa Barat, menyatakan Sikap sebagai berikut : Pertama : Mendukung sepenuhnya Aspirasi masyarakat didaerah Sumbawa Barat dan sekitarnya terhadap pembentukan Propinsi dan pemecahan kabupaten Sumbawa bagian Barat menjadi Kabupaten Sumbawa Barat sebagai kehendak rakyat yang harus diperjuangkan Kedua : Mendesak kepada Pemerintah Daerah dan DPRD Propinsi NTB untuk memperjuangkan kepada pemerintah Pusat dan DPR RI tentang pembentukkan Propinsi Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat. Ketiga : Memberikan rekomendasi kepada Tim Pengkajian Pengembangan Pulau Sumbawa ( TP3S ) Tingkat Propinsi dan daerah untuk mengambil langkah-langkah kongkrit dalam mempercepat proses pembentukan Propinsi Sumbawa dan kabupaten Sumbawa Barat. Sumbawa Besar, 1 Januari 2001 Menyatakan : Forsema (Win Kodrat) , Lembaga Pengkajian pengembangan Alas (Berlian Rayes, Sag), Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa (Maman Khairussalam, SE) YPPMD (Agus Adrianto), Pusat Peranserta Masyarakat Presidum Sumbawa (Ir. Amran Herlambang) IKS Bandung (Arif Hidayat), Ikatan Keluarga NTB – Jabar (Arif Hidayat) Konsorsium Pemuda Adat Pulau Sumbawa (Ir. Zainal Abidin) Tembusa Yth : Bpk. Presiden RI di Jakarta , Ketua DPRD Propinsi NTB di Mataram, Bpk. Ketua MPR RI di Jakarta, Bupati Sumbawa di Sumbawa Besar, Bpk. Ketua DPR RI di Jakarta , Ketua DPRD Sumbawa di Sumbawa Besar, Menteri Dalam Negeri di Jakarta, LSM – LSM, Gubernur NTB di Mataram, Pers. Undangan Saresehan PPS di Bandung tanggal 25 Fabruari 2001 yang disebarluasrkan melalui milis Propinsi Sumbawa Untuk menyikapi wacana pembentukan propinsi Sumbawa Ikatan Keluarga Nusa Nenggara Barat Bandung berencana mengadakan sarasehan sehari. Sarasehan ini diharapkan melahirkan pemikiran-pemikiran yang dapat di konstribusikan bagi masa depan pulau Sumbawa. nara sumber dalam sarasehan tersebut sengaja di tampilkan dari berbagai latar belakang ilmu. ini dikarenakan kami ingin mendapat masukan variatif yang bisa dianlisis lebih dalam lagi bagi masa depan pulau sumbawa. Rumusan tersebut akan disampaikan kepada pemerintah guna dijadikan referensi akan masa depan Sumbawa. acara sarehan ini selain akan dihadiri oleh warga Pulau sumbawa di Bandung juga panitia mengundang tokoh-tokoh masyarakat Pulau Sumbawa dari jakarta dan Mataram ( NTB ). Susunan acara dan bentuk kegiatan seperti dibawah ini : SARASEHAN KELUARGA BESAR MASYARAKAT PULAU SUMBAWA BANDUNG Agenda Sarasehan Nasional Pembentukkan Provinsi Sumbawa Tema : Menyatukan persepsi dalam menyikapi pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa Tempat : Aula Sekolah Tinggi kesejahteraan Sosial Bandung ( STKS ) Jl. Ir. Djuanda – Dago Atas Bandung Hari Tanggal : Minggu, 25 Pebruari 2001 Waktu : 08.30 – 15.45 Wib Acara 9.00 – 9.05 Pembukaan oleh MC : Suryawan, SE 9.05 – 9.15 Sepatah kata oleh panitia : Arif Hidayat 9.15 – 9.30 Sambutan ketua IKNTB : H.M. Hatta Taliwang, Drs, BSW Sesi I – 9.30 – 12.00 Moderator : Mulyadi Zirads, S.H 9.30 – 9. 50 Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dilihat dari perfektif ilmu pemerintahan Oleh : Saruji Masnirah, Drs, Msi 9.50 – 10.10 Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dilihat dari perfektif Sejarah Oleh : Helius Syamsuddin, Prof.Dr.M.A. 10.10 – 10.30 Pemanfaatan Sumber Daya Alam dalam rangka mendukung pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa Oleh : Kamaruddin Abdullah, Prof.Dr. Digantikan oleh Dr.M.A.M. Oktaufik 10.30 – 12.00 Dialog dan tanya jawab 12.00 – 13.00 Break ( Makan dan Sholat ) Sesi II ( 13.00 – 15.45 ) Moderator : M. Ramli, Drs 13.00 – 13.20 Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dilihat dari perfektif Integrasi BahasaOleh : Syamsuddin. AR.M.S, Prof. Dr.H 13.20 – 13.40 Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa dilihat dari perfektif Sosial BudayaOleh : Syarif Muhiddin, Dr.MSc 13.40 – 14.00 Perfektif Politik dalam menyikapi pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa Oleh : H.M. Hatta Taliwang, Drs.BSW 14.00 – 15.00 Dialog dan tanya Jawab 15.00 – 15.30 Rumusan hasil Sarasehan 15.30 – 15.45 Penutup Oleh : H.M. Hatta Taliwang, Drs.BSW Salam, Arif Hidayat ketua panitia Hasil Sarasehan Nasional Masyarakat Pulau Sumbawa “Menyatukan persepsi dalam menyikapi pembentukan provinsi pulau Sumbawa” Sarasehan Nasional masyarkat pulau Sumbawa yang diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Sumbawa Bandung (IKSB) pada Minggu 25 April 2001 bertempat diaula Sekolah Tinggi kesejahteraan Sosial Bandung (STKS ) Jl. Ir. Djuanda – Dago Atas Bandung berhasil menghadirkan pembicara sesuai dengan rencana panitia penyelenggara. Dalam kesempatan tersebut acara yang di bagi dua sessi dan dihadiri oleh sekitar 70 orang wakil masyarakat pulau Sumbawa ( Sumbawa, Bima dan Dompu ) dari berbagai kota diantaranya dari NTB, Jokjakarta, Jabotabek dan tuan rumah Jawa Barat. Dari NTB perwakilan yang hadir sebanyak 3 orang diantaranya Ir. Zainal Abidin, Salim, HS dan Berlian Rayes. Dalam sessi pertama dihadirkan 3 orang pembicara yaitu Drs.H.M. Hatta Taliwang, BSW. Prof.Dr. Helius Syamsuddin,M.A. dan Dr. Syarif Muhiddin, MSc. Apa yang diuraikan oleh Hatta Taliwang selaku narasumber yang menyorot dari persfektif politik bahwa pembentukan propinsi Sumbawa dapat terlaksana. Jangan propinsi pulau sumbawa, propinsi Lombok, sumbawa dan Bima juga bisa dijadikan propinsi yang otonom. Sebenarnya pembentukan propinsi Sumbawa merupakan kehendak masyarakat pulau sumbawa. Selama ini kesan yang timbul tentang pembentukan propinsi Sumbawa merupakan kepentingan elit. Hal ini dimungkinkan oleh perbedaan strategi akan sosialisasi menuju pencapaian tujuan tersebut. Mengenai deklarasi dijakarta tidak ada yang salah, hanya sosialisasinya kurang maksimal. Seharusnya jalan yang ditempuh adalah tokoh-tokoh masyarakat yang menyampaiankan aspirasinya ke DPRD sehingga inilah yang dijadikan rujukan pengambil keputusan di DPR RI. Wacana pembentukan propinsi Sumbawa merupakan akumulasi distribusi kekuasaan yang tidak merata diantara etnis di NTB. Kalau kita telusuri kebelakang bahwa ada pertarungan di tingkat elit karena distribusi kekuasaan. Sementara ini pertarungan di tingkat etnis juga merupakan issue yang menggeliatkan pembentukan propinsi Sumbawa. Kita bisa melihat di DPR – RI semua utusan daerah yang berjumlah 4 orang semuanya berasal dari lombok. Dan juga komposisi di anggota DPR TK.I NTB kemungkinan untuk terakhir kalinya wakil pulau Sumbawa menjadi Gubernur di NTB. Jalan keluar persoalan tersebut adalah memaksimal potensi Pulau Sumbawa dengan membentuk propinsi Sendiri. Sementara itu menurut Prof. Dr. Helius Syamsuddin pembentukan propinsi Sumbawa dapat terlaksana karena dilihat dari sosiologi memiliki kesamaan agama dan budaya secara umum. Bahkan terjadi pembauran diantara etnis yang ada. Apa yang terjadi saat ini menurut beliau ada rasa skeptis terbentuknya propinsi Sumbawa jika pernyataan Mendagri tentang Provinsi Bima yang direkomendasikan. Beliau berharap itu hanya kekeliruan belaka. Nara sumber ketiga yaitu Dr. Syarif Muhiddin menyoroti pembentukan propinsi Sumbawa dari persfektif sosiologinya. Beliau mengakui bahwa data Up To date tentang situasi terakhir pulau Sumbawa belum begitu banyak. Dalam pandangan sosiolaginya pembentukan propinsi sumbawa diperlukan berbagai faktor salah satu diantaranya adalah factor sosial budaya disamping faktor geografis. Suasana cukup seru dikala ketua panitia sdr. Arif Hidayat dalam sambutannya menguraikan tentang pernyataan Mendagri mengenai provinsi Bima. Apa yang dikatakan oleh Sdr. Berlian Rayes, elit-elit dipusat harus menjelaskan kepada etnis Samawa tentang pernyataan Mendagri tersebut. Sehingga keresahan dalam masyrakat sumbawa tidak berlanjut. Menurut berlian sangat mustahil etnis samawa menjadi bagian propinsi Bima. Yang jelasnya etnis samawa siap dengan propinsi Samawa. Ketua ikasum Jaya Drs. H. Muis ZA mengutarakan bahwa beliau sangat mendukung pembentukan propinsi samawa. Begitu juga pandangan Drs. Saruji Masnirah, Msi. Provinsi Samawa tidak dapat diwujudkan jika dilihat dari peraturan yang berlaku saat ini. Persyaratan minimal yaitu dalam propinsi tersebut minimal terdiri dari 3 kabupaten. Namun untuk saat ini propinsi Sumbawa dapat diwujudkan. Jika masyarakat berkeinginan membentuk provinsi samawa maka pemekaran wilayah di Sumbawa secepatnya di lakukan. Sessi kedua diisi oleh Drs. Saruji Masnirah, Prof. Syarif Muhiddin dan M.A.M. Oktoufik. Pada kesempatan tersebut terjadi tarik ulur disaat perumusan hasil disaat Ir. Zainal Abidin mengusulkan usulan Bpk. A. Latief Selaku Sekjen Pembentukan Propinsi Sumbawa jakarta, agar Ibu kota Propinsi dan kepala pemerintahan dari kab. Sumbawa. Tarik ulur tersebut dikarenakan sebagian kecil peserta dari Bima tidak menyetujui rumusan tersebut. Secara eksplisit mereka tidak mempersoalkan jika Ibu kota berada di wilayah Sumbawa. Sebagai jalan tengah untuk mengatasi kebuntuan tersebut forum menyerahkan persoalan ini kepada Drs. Saruji Masnirah, Msi. Beliau menjelaskan penentuan Ibu Kota Propinsi dan kepala Daerah seharusnya diserahkan kepada mekanisme yang berlaku. Sementara itu peserta lain ; Taufik Rahzen seorang budayawan nasional dari Sumbawa memberi komentar tentang perlunya kita merumuskan patokan kongrit tentang masa depan Sumbawa. Selama ini kita masih bias membicarakan Sumbawa belum menyentuh kepada inti persoalannya. Padahal menurut taufik masa depan Sumbawa harus kita pikirkan harusjauh kedepan, mengapa tidak kita pikirkan kemungkinan akan terbentuknya negara federal dan mungkin Sumbawa akan menjadi bagian dari ini. Rekomendasi akhir dari sarasehan tersebut adalah perlunya dilanjutkan Sosialisasi untuk pembentukan Propinsi Sumbawa. Pernyataan Mendagri tentang provinsi Bima perlu diklarifikasi agar masyarakat tidak menjadi bingung sehingga konflik horizontal dapat dihindari. *** Salam Arif Hidayat ketua panitia
KRONOLOGIS PERJALANAN PPS HINGGA TAHUN 2013 01/03/1999, 
Wacana tentang pembentukan Provinsi Sumbawa sudah muncul saat Ikatan Keluarga NTB Jawa Barat yang dipimpin oleh M.Hatta Taliwang dengan sekretaris Arif Hidayat mengadakan acara Silaturrahim di Bandung pada tanggal 1 Maret 1999 yang menghadirkan Gubernur NTB H. Harun Alrasyid. 30/08/1999 didirikan The Reseach Network Strategic for Sumbawa (RNS2) atau yang dikenal dengan Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa yang didirikan di Bandung mulai mengadakan kampaye tentang perlunya pembentukan Provinsi Sumbawa. RNS2 yang didirikan oleh aktivis muda Arif Hidayat mulai berkampanye melalui opini-opini melalui media massa local yang ada di NTB. Tahun 2000 mulai menyebarkan leaflet yang berisi pesan moral pembentukan provinsi Sumbawa. 11/12/2000, Jaringan Pengkajian Strategis Sumbawa (JPS2) di Bandung meluncurkan millis Propinsi Sumbawa yang beralamat di http://yahoogroups.com/group/propinsi_sumbawa Januari 2001, JPS2, IKS Bandung, IKTB jabar, YPPMD, Forsema Alas melakukan kampanye Pembentukan Provinsi Sumbawa melalui Kartu lebaran dan pamplet 23/02/2001, Seminar tentang pembentukan Provinsi Sumbawa di Kota Sumbawa Besar 11/03/2001, Kongres Rakyat Sumbawa Barat tentang pemekaran Sumbawa Barat dan Provinsi Sumbawa. Hadir dalam acara ini diantara anggota DPR RI Hatta Taliwang, Tokoh Sumbawa Barat di Jakarta Amir Jawas dan penggagas acara Arif Hidayat dari Bandung. 14/01/2001, Deklarasi pembentukan Provinsi Sumbawa di padepokan TMII-Jakarta 28/1/2001, Deklarasi pembentukan Provinsi Sumbawa di Mataram 28/1/2001, Deklarasi pembentukan Provinsi Sumbawa di Bandung – Jabar 25/02/2001, Sarasehan Nasional Pembentukan Provinsi Sumbawa di Bandung Jabar 14-15/10/2004, KP3S Jakarta, Road Show dan Kampanye ke Pulau Sumbawa terkait pembentukan PPS. Rombongan KP3S dipimpin oleh H. Ibrahim selaku ketua KP3S Jakarta. 19/11/2006, Pertemuan dan Penandatangan persetujuan pembentukan PPS oleh seluruh Bupati/walikota dan ketua DPRD sepulau Sumbawa di Kota Sumbawa Besar, sekaligus menetapkan ibukota PPS berada di Sumbawa Besar 13/05/2002, KP3S Mataram mengirimkan proposal usulan pembentukan PPS ke Depdagri & DPR RI 2007, KP3S Mataram kembali mengirimkan proposal usulan pembentukan PPS ke Depdagri & DPR RI 29/09/2009, Terbentuk Kaukus Muda Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (KAMPUS) yang bertujuan untuk mengerakan kembali bola PPS yang selama 3 tahun tidak bergaung lagi 18/04/2010, Ketua KAMPUS Arif Hidayat mengadakan pertemuan terbatas dengan Sekretaris KP3S Mataram Salim HS, di Mataram, menindaklanjuti hilangnya berkas PPS di DPR RI sehingga PPS tidak bisa diajukan dalam pemekaran yang sedang di bahas di Komisi II DPR RI. Arif memberikan batasan waktu kepada KP3S hingga Kamis 22 April 2010, jika KP3S tidak segera mengajukan proposal baru ke secretariat Komisi II DPR RI, maka KAMPUS yang akan mengambil alih perjuangan PPS . 22/4/2010, KP3S Mataram dan warga Sumbawa di Jakarta diantaranya Arif Hidayat, Hatta Taliwang, Amir Jawas, Amru, Putera Adi Soerjo bertemu dengan anggota DPR RI Harun Alrasyid dan kembali memasukan proposal usulan pembentukan PPS ke Komisi II DPR RI 23/4/2010, KP3S Mataram merumuskan pembentukan KP3S Jakarta di Wisma Mas Isman Kosgoro Jakarta dan sepakati ditunjuk dr. Sanusi , SPOG sebagai ketua KP3S Jakarta 29/09/2010, KP3S Jakarta dan Mataram mengadakan RDP dengan Komisi II DPR RI 17/01/2001, TP3S Mataram mengirim proposal usulan pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa ke Mendagri 25/01/2011 Konsolidasi KP3S Jakarta dan Mataram di RM Bangkok Benhil Jakarta Pusat 28/01/2011 KP3S Jakarta dan Mataram mengadakan pertemuan dengan anggota DPRD NTB di Hotel Millenium Jakarta guna membicarakan persiapan kongres rakyat pulau Sumbawa 27/02/2011, Kongres Rakyat Pulau Sumbawa bertempat di Kabupaten Sumbawa 09/03/2011 KP3S dan Perwakilan Pemerintah dan DPRD Sepulau Sumbawa mengadakan RDP dengan Komisi II DPR RI. Perwakilan Pemerintah dari Pulau Sumbawa di Pimpin oleh Bupati Sumbawa Drs. Jamaluddin Malik. 21/09/2011 KP3S Jakarta dan Mataram berkoordinasi dengan anggota DPR RI Fahri Hamzah pertemuan dilaksanakan di restoran Pulau Dua Senayan dengan peserta pertemuan Ketua KP3S Mataram, Dr. Hj. Siti maryam, Ketua KP3S Jakarta dr. Sanusi dan beberapa tokoh Sumbawa di Jakarta di antaranya Amir Jawas, Yan Sirajudin, Ketua Kaukus Muda KP3S Arif Hidayat bersama pentolan Tokoh NTB yaitu Fachri Hamzah dan Harun Al-Rasyid, dihasilkan beberapa progress dari perjuangan pembentukan PPS terutama rencana menggunakan fraksi PKS untuk usul Proglegnas 2012. 03/10/2011 Fraksi PKS dan Hanura menerima tim kecil KP3S yang dipimpin oleh Arif Hidayat dengan agenda meminta Fraksi PKS dan Hanura untuk mengajukan hak inisiatif pembentukan PPS 04/10/2011 Fraksi PAN menerima tim kecil KP3S yang dipimpin oleh Arif Hidayat dengan agenda meminta Fraksi PAN untuk mengajukan hak inisiatif pembentukan PPS 06/10/2011 Fraksi Demokrat menerima tim kecil KP3S yang dipimpin oleh Arif Hidayat dengan agenda meminta Fraksi Demokrat untuk mengajukan hak inisiatif pembentukan PPS 07/10/2011 Fraksi Golkar menerima tim kecil KP3S yang dipimpin oleh Arif Hidayat dengan agenda meminta Fraksi Golkar untuk mengajukan hak inisiatif pembentukan PPS 10/10/2011 Fraksi PPP menerima tim kecil KP3S yang dipimpin oleh Arif Hidayat dengan agenda meminta Fraksi PPP untuk mengajukan hak inisiatif pembentukan PPS 12/10/2011 KP3S Mengadakan RDP dengan Baleg DPR RI, hak inisiatif yang diusahakan oleh tim kecil KP3S hanya dikeluarkan secara tertulis oleh Fraksi PKS dan Fraksi Hanura. 15/11/2011 Pembentukan Kaukus Senayan Provinsi Pulau Sumbawa, ketua disepakati Dr. Zulkieflimansyah 21/07/2011 Konsolisasi KP3S Jakarta dan Mataram dengan Sekda NTB di restoran Gandhi Menteng Jakarta 09/04/2012 KP3S Jakarta berkoordinasi dengan Fraksi PKS yang diwakili oleh Fahri Hamzah, diterima di ruang Fraksi PKS 07/06/2012 Anggota DPR RI Fahri Hamzah, Sekretaris KP3S Jakarta Arif Hidayat, Bendara KP3S Mataram Judhiar Abdulkadir dan Staf Ahli DPR Putre Adi Soerjo diterima oleh Mendagri Gumawan Fauzi membahas tentang PPS 14/11/2012 KP3S Jakarta dan Mataram bertemu dengan Dirjen OTDA Depdagri di Kantor Depdagri 14/11/2012, 2012 KP3S Jakarta dan Mataram bertempat di Hotel Gren Alia Prapatan menyepakati menunjuk Manimbang Kahariadi sebagai ketua Tim Lobi 09/01/2013 Konfrensi Pers KP3S Jakarta dan Mataram tentang perkembangan PPS, acara di restoran Pulau Dua Jakarta 14/03/2013 Pemprov NTB yang diwakili oleh wakil Gubernur NTB Badrul Munir mengikuti RDP tentang DOB yang dilaksanakan oleh Komisi II DPR RI 28/03/2013 Pemprov NTB yang diwakili oleh wakil Gubernur NTB Badrul Munir mengikuti RDP lanjutan tentang DOB yang dilaksanakan oleh Komisi II DPR RI 12/07/2013 KP3S Jakarta dan Mataram berkoordinasi dengan Fraksi PKS diterima oleh Fahri Hamzah dan anggota Komisi II DPR RI F.PKS Jazuli 23/09/2013 Rapat Internal KP3S Jakarta dan mataram di FX Sudirman. Yang Hadir : ketua KP3S Mataram Dr.H.Siti Maryam, Sekretaris KP3S Mataram Nurlaela, Sekretaris KP3S Jakarta Arif Hidayat dan M. Amin. 02/10/2013 Rapat Pleno Baleg dan Komisi II dengan agenda Harmonisasi DOB Usulan Komisi II/ Menetapkan Ketua Panja Konsiyering Sunardi Ayub 3-5/10/2013 Rapat Panjang Baleg, Konsiyering panja DOB, di hotel Four Session Jakarta. Hasil Pembahasan RUU 16 DOB Kloter pertama 08/10/2013 Finalisasi Rapat panja DOB Baleg – Komisi II Baleg secara resmi menetapkan 16 DOB termasuk diantaranya RUU PPS 17/10/2013 Bamus DPR Mengesahkan RUU DOB yang diajukan oleh Baleg dan selanjutnya akan diparipurnakan oleh DPR RI 18/10/2013 Pertemuan Kepala Daerah sepulau Sumbawa dengan KP3S Mataram dan Anggota DPR RI Fahri Hamzah, dengan hasil 1. Menyetujui Bupati Sumbawa Drs. Jamaluddin Malik sbg Koordinator para bupati utk mendukung terbentuknya PPS; 2. Memantau dan melaksanakan lobby politik serta perkembangan PPS di DPR RI; 3. Mengikuti Paripurna PPS, Selasa 22 Oktober 2013 sbg moment menentukan PPS pada DOB di DPR RI.
Comments
0 Comments

0 komentar: